Sabtu, 27 Oktober 2012

Jemari itu terus bertautan. Sejalan dengan tuannya yang berwajah muram tak tertahankan. Dia, sang pemuja yang pernah kupuja, terkulai pasrah pada gravitasi. Seolah terdapat jutaan tangan yang menariknya jatuh ke muka Bumi.


“Aku telah kehabisan kata untuk menyakinkanmu, wanitaku yang demi rindu aku sanggup membunuh waktu.”

Aku tersenyum, dengan getir yang telah bosan bersembunyi. Entah sudah berapa kali kita ulangi ini. Adegan yang telah kuhafal pasti.


“Dan mungkin untuk kali ini, akupun telah kehabisan rasa untuk mempercayaimu. Mungkin aku lelah untuk terus mendoakan bayangmu agar tak terbenam kelam.”

Jemari itu tak lagi bertautan. Kini mereka mengepal mengenggam emosi yang entah apa. Aku tak dapat menebak. Lelakiku tak dapat kuterka. Dari pertama ia kucinta sampai kini kita berbicara.


“Kau tau bahwa aku tak pernah ingin menyakitimu. Sampai para jam meninjuku hingga lebam, atau hingga kopi di cangkirku tak lagi dapat kusesap. Aku tak pernah ingin menyakitimu.”

Sungguh aku ingin percaya.  Aku tak lagi menghitung ini dusta yang keberapa. Aku ingin sekali mempercayainya. Tapi semakin keras aku memeluk mimpi tentang kasihku dan aku, realita pun semakin keras mendesakku agar membuka mata. Melihat dia di alam nyata.

“Apa karena itu kau membekapku dengan kebohongan? Agar aku tak tersakiti oleh pengkhianatan? Apa kamu juga mengatakan hal serupa pada hatimu disaat kamu menyapa dia yang kupikir telah berlalu?”

 
Ia terdiam. Hingga beberapa saat kita termangu dalam sepi yang membeku. Ia yang berputar dengan pikirannya. Aku yang menahan tumpahan aliran rasa.


”Aku bersumpah aku tak pernah berdusta dengan kata cinta.”

Ia menjawab lirih perlahan.


“Tapi mungkin aku memang bukanlah lelaki yang dapat menjaga hatimu seorang saja.”

Aku pecah. Bersamaan dengan kelanjutan cerita kita pada akhirnya. Sudah lama kuduga apa yang terjadi dibalik kisah kita, namun mendapat pengakuan dari bibirnya, aku pecah jatuh ke tanah.

“Semoga kita bahagia, tanpa harus lagi bersama.”

 
Aku tersenyum dengan pandangan berkaca. Mengucapkan kata-kata perpisahan untuk ia yang pernah kucinta.

Minggu, 07 Oktober 2012

Pembicaraan Rindu

Lagi-lagi ponsel ku berdering. Jeritnya memang tak nyaring, namun getarnya cukup menggelegar. Cukup membuatku tersentak sesaat setelah ku reject panggilan sebelumnya.

Beberapa pasang mata melekat membuatku jengah. Aku memang paling tak suka menjadi pusat di tengah kerumunan. Seperti dicekik dari kiri dan kanan.

“Apa?” bentakku pada si penganggu setelah ku putuskan untuk menjawab panggilannya. Terdengar gelak dari sebrang sana. Glek! Aku benci mengakuinya, tapi suara itu selalu mampu membuat jantungku berolahraga.

“Ingin merajuk hingga kapan nona?” tanya suara dari sana.

“Hingga kapan, itu urusanku dengan waktu. Bukan denganmu”

“Ah, tapi kurasa namaku ada dalam daftar serta diskusimu.  Juga para rindu yang menyebut-nyebut namamu”

“Tau apa kamu tentang rindu? tentang aku saja kamu masih terbata-bata”

“Oh ya? kamu tak tau saja bahwa aku telah berkawan akrab dengannya, tiap malam kami berbincang bersama”

“Ah, aku dapat menerka pembicaraan kalian berdua. Pasti tentang keluarga dan kawan lama. Atau juga tentang game-game yang membuatmu jadi pelupa”

“Mungkin juga, hahaha”

Ugh, dasar tak peka! Ku pikir ia akan mengelak dan mengatakan bahwa aku lah yang menjadi tema. Ternyata ia malah mengiyakan saja.

“Oke, selamat berbincang dengannya”, kataku sambil bersiap mematikan ponselku.

“Tetapi”
Ia menyambung tiba-tiba, mengurungkan niatku semula, 
“kami lebih suka membicarakan si nona perajuk yang gemar berjalan-jalan di otakku”.

“Perayu”, aku tersipu.

“Terserah apa panggilanmu, yang pasti aku candu pada candamu”.

 “Ya, sayangnya game di komputermu itu lebih memikat dibanding aku”.

Hening sejenak. Aku tahu ia tengah memikirkan jawaban untukku.

“Nona, kalau kau ingin kita berbicara tentang apa yang memikatku, ia tak hanya itu. Lebih dari satu. Mungkin beribu-ribu.”
Kini aku yang tak bersuara. Menunggu kelanjutan kata-katanya. 
“Tapi kamu, cintaku, hanya satu yang satu-satunya  mengikatku dengan simpul sendu tiap kali jarak merengkuhmu”.

Aku membeku. Entah bagaimana ia selalu sanggup membuatku bisu.  Aku rasa ia tak berbohong saat berkata bahwa ia berbincang tiap malam dengan rindu, sepertinya mereka bekerjasama menyergapku, karna sungguh saat ini aku sangat ingin mendekap sang penganggu satu itu.

“Kalau memang begitu, kenapa kau tak selamatkan aku dari jarak yang juga mencekikku? Aku bisa mati sewaktu-waktu”.

Seolah dapat melihatnya, aku tahu ia sedang tersenyum saat menjawabku,
“tetaplah di situ, aku tengah menujumu”.

Sabtu, 06 Oktober 2012

Antara rindu dan kamu, ada ruang yang disebut waktu
Ilusi sendu yang mencipta sejarah tentang berbagai kisah

Sabtu, 26 Mei 2012

New Tumblr

Akhirnya gw bikin tumblr :D
tadinya sempet ragu banget. Gw pikir tumblr cuma buat foto2 gitu. Gw jujur slama ini g ngerti sama skali ttg tumblr :|
Dulu pernah buat, tapi karena g ngerti sama skali, yaudah deh gw tinggal, trus lupa deh ma passwordnya -.-v
Trus tadi bener2 berhasrat banget bikin tumblr. Setelah tanya sana sini ttg kelebihan dan kekurangan tumblr serta perbandingannya dengan blogger, akhirnya gw jadi bikin tumblr.
Pertamanya bingung bangeeeettt. Tapi akhirnya lama2 ngerti juga, haha :D
Malah sekarang gw kayaknya lebih prefer ke tumblr deh, hehe. Abis fiturnya pewe bgt. Sebagian isi dari blog ini juga udah gw pindahin ke tumblr gw. Brasa pindah rumah deh :O
Buat yang mau liat2 rumah baru gw (red: blog baru), main aja ke http://fa-untitled.tumblr.com/ yah :)
see you on my new tumblr :D

oh ya, sebenernya hal yg bikin gw takut bikin tumblr itu gara2 gw pikir kalo di tumblr tuh harus pake b.inggris, ternyata nggak juga ya, untung deh, b.inggris gw pas2an banget soalnya -.-v

Jumat, 25 Mei 2012

Percakapan Bumi dan Bulan

Bumi: "Kamu memang pemuja kata. Membangunnya sedemikian rupa. Hingga ia berwujud senjata. Senjata yang mempesona. Namun tetap saja aku mati pada hunusannya. Kamu, pujangga yang tak bersuara. Mengirisku dengan berbagai karya. Aku takkan menyangkal, bahwa mereka memang indah. Namun tetap saja, ia membuatku mati berdarah."

Bulan: "Bukan kamu yang ku jadikan peran utama. Aku memang mengambil cerita dari semesta. Tapi ia bukanlah bagian dari tata surya. Kamu terlalu percaya diri wahai bumi."

Bumi: "Aku hanya mengenalmu terlalu dalam, bulan. Hingga padanya aku dapat menyelam, bahkan tenggelam."

- Mungkin ini bukti keegoisanku. Aku tahu itu. Aku juga tahu kamu tahu aku. Memang dosaku, dengan menggunakannya sebagai senjata untuk melukaimu. Membohongimu dengan berjuta elakkan, walau percuma karena kamu selalu tahu apa yang kusembunyikan. Mungkin karena aku tak ingin terlupakan. Mungkin karena aku tak ingin tergantikan. Terimakasih karena telah begitu mengenalku. Maaf atas hari kita yang lebih banyak tergores kecewa-

Pagi

Pagi itu seperti janji, yang diucapkan berulang kali. Lagi dan lagi.

Cerita

Aku punya cerita, tolong dengarkan. Ini tentang kamu, yang telah menjajah pikiranku dengan bilah kenangan.
Aku dulu mati. Saat kau tusuk aku dengan belati. Hunusan yang kau asah dengan berbagai janji. Berkali-kali. Lagi dan lagi.
Aku berdarah. Aku merah. Aku menyimpan amarah. Tapi aku hanya dapat pasrah. Aku lelah.
Suatu hari nanti, aku akan hidup kembali. Pasti. Dengan kamu yang terhapus dari memori. Aku hanya perlu menghitung jari. Sembari menautkan jemari. Menunggu hingga malam terkubur mentari.

Minggu, 13 Mei 2012

Satu yang ingin ku tanya... Sudah lupakah kau pada cahaya perak yang dulu pernah membuatmu berdecak? ataukah sang surya telah berhasil membuatmu buta?
Saat nanti langit menangis pun, aku tak yakin kau masih dapat mendengar isaknya.

Jumat, 11 Mei 2012

Suaramu menggema di dalam ingatan, berlarian bersama kenangan, memburu ku yg tengah berusaha melupakan
Sosok itu ada di dalam aku. Ia berlarian di dalam lubuk, menohok tepat di ulu, membuatku terbatuk, berdahak rindu

Selasa, 17 April 2012

Dulu kalau aku tak begitu, kini bagaimana aku?
Dulu kalau aku tak di situ, kini di mana aku?
Kini kalau aku begini, kelak bagaimana aku?
Kini kalau aku di sini, kelak di mana aku?
 
Tak tahu kelak ataupun dulu
Cuma tahu kini aku begini
Cuma tahu kini aku di sini
Dan kini aku melihatmu

Ilana Tan - Summer in Seoul (prolog)

Senin, 16 April 2012

stitch

from: http://weheartit.com/
Kadang, setiap aku berjalan di tempat umum, aku selalu berpikir ada orang-orang di sekitarku yang dapat membaca pikiranku.
Mungkin saat ini aku butuh mereka. Aku butuh mereka untuk membaca pikiranku, agar mereka dapat memberitahuku apa yang sebenarnya ada di pikiranku.
Saat ini aku tak dapat mendengar apapun dari pikiranku. Semua begitu hening.
Atau mungkin, terlalu bising?

Minggu, 15 April 2012

A Hand Of Mine

A hand of mine. Taken by Syifa Fauziyyah when we were at Cibodas.
Syifa is one of my best friends. We were in the same class at junior high school. She likes photograph, movies and games (she's a gamer). Now she lives in dormitory and it's so rare for us to meet. I miss her so much :')

A Cup of Happiness

from: http://weheartit.com/

Setetes Hujan

Setetes hujan yang kini mendekap pada akar tanaman.... Terkadang merindukan pelukan awan...

What If...

 

Aku


Aku pernah menjadi tetes hujan yang menjatuhimu. Mengalir menuju hilir di keningmu. Lalu aku bersemayam di pikiranmu. Menjadi gelisah yang menghantuimu. Menjadi rasa yang membuahkan rindu.
Namun suatu hari aku tergelincir dari singgasanaku. Jatuh ke dasar hati, mengendap tertimbun hari. Dan kau pun tak mengingatku lagi.
Tolong biarkan aku menguap dan kembali ke langit. Agar aku dapat menyapa mentari. Serta memeluk pelangi.

Sabtu, 14 April 2012

Mempercayai


Gadis tersebut memejam menahan rasa yang mengendap di dadanya. Tangannya menggenggam sebuah handphone hitam hadiah dari ayahnya. Dan saat handphone tersebut bergetar dengan menampilkan satu pesan yang terhantar, ia menahan nafasnya sambil membuka mata. Dengan seksama, ia membaca tulisan pada layar yang menyala. 

Itu gunanya teman, saling mempercayai

Ia tersenyum, kemudian mengetik balasannya.

Dulu, aku pernah mencoba mempercayai

Jumat, 13 April 2012

Rotasi

Aku masih berkutat di satu tempat... Kalaupun aku bergerak, sepertinya aku hanya berotasi... Dan kamulah yang berperan sebagai gravitasi.

Aku pernah merasakan sebuah kehangatan. Dari sepasang lengan yang saat ini begitu kurindukan. Jika saja mungkin, aku ingin mencuri catatan waktu yang telah ditakdirkan. Dan menghapus peristiwa yang kini ku sesalkan. Agar di detik ini aku dapat tersenyum di dalam sebuah dekapan.
Tapi waktu yang tak perduli, ia tetap berjalan. Membiarkanku tertinggal dan kedinginginan.

Kenangan

Aku melihat sebuah senyuman di dalam ingatan... Kemudian aku menguncinya di dalam pikiran... Agar ia tersimpan sebagai kenangan.

Jumat, 06 April 2012

Dear Someone Out There

Dear someone out there,

Hello, I love you.

Haha...  No, i'm just kidding.

Another Poem Of Linkin Park Indonesia's Founder

Setelah kemaren aku ngeshare salah satu puisi nya Kang Tebe di sini, ada satu lagi nih puisi Kang Tebe yang aku suka. Silahkan di baca :)

Belaian Senja

senja ini membelaiku kembali

memberikan hangatnya ditengah dingin hati ini
kemilau kesedihan terpancar dari tempatnya berada
indah namun tak menjanjikan keindahan
ku nikmati keadaan itu
ditemani lambatnya waktu yang berjalan
tak terasa air mata berjatuhan
menghujani hati yang pilu
menusuk rasa yang sempurna tercipta
hingga raga ini tak berdaya

senja,

apakah itu takdirmu?
apakah ini takdirku?
ku terlalu lama menatapmu
menikmati indahmu
dan tak sadar dia telah pergi dari hidupku


7 Februari 2012


Oh iya, bagi yang suka Linkin Park, silahkan gabung di Linkin Park Indonesia. Tapi jangan lupa baca rules nya di bagian dokumen biar g kena marah admin :)
Dan kalau mau tau berita ter update tentang Linkin Park, bisa di lihat di http://lpiblogsite.blogspot.com/ atau follow LPI di twitter, @lp_indonesia :)

Kamis, 05 April 2012

Poem Of Linkin Park Indonesia's Founder

Ada yang suka Linkin Park? Kenal Tubagus Fauzi?
Ok, ganti pertanyaan... Kenal Kang Tebe?
Kang Tebe alias Kang Tubagus Fauzi adalah founder dari Linkin Park Indonesia, fan base Linkin Park terbesar di Indonesia :D
Dan ternyata... Kang Tebe suka bikin puisi :O
Ini salah satu puisi yang kemaren Kang Tebe kasih liat ke senior-senior member LPI (termasuk aku) :)

pagi ini mentari kembali redupkan sinarnya..
entah apa yang terjadi dengannya,
apakah dunia tak pantas lagi menerima kehangatan darinya?
apakah dunia harus selalu diselimuti langit yang tak biru?
aku tak tahu..
yang aku tahu, selama kamu masih setia disisiku..
selama kamu masih ada dalam dekapanku..
aku masih merasakan kehangatan darimu..
dunia ini masih terlihat berwarna,
dan langitku masih tetap bercahaya..
semua karena kamu..


- 30 Januari 2012 -

Minggu, 01 April 2012

Sebuah Mimpi


Aku menatap dia yang menatapku, sembari bertanya pada keheningan di sekelilingku. Terdapat cahaya samar dari beberapa kembang api yang entah milik siapa. Tapi di sekitarnya, hanya hitamlah yang mampu berwarna. Aku melihat daun-daun bergerak seirama, namun aku tak dapat merasakan hembusan angin yang menerpa. Aku duduk di tempat yang entah dimana, berhadapan dengan dia yang dapat ku kenali walau hanya dari sepasang mata. Perlahan aku menuntun tanganku untuk menyentuh kedua sisi pipinya, dan sesaat terkejut merasakan sebuah kehangatan yang nyata.
"Aku tahu ini mimpi", kudengar diriku berkata. Ia tersenyum dan aku terjaga.

Sabtu, 31 Maret 2012

Hanya Sebuah Tanya

Kadang aku berkaca dan menatap sepasang mata. Aku bertanya padanya apakah aku dapat menjadi sesosok senja. Ia diam, dan aku pun memilih untuk tak lagi bersuara. Hingga akhirnya angin datang dan membisikkanku jawabannya.

Kamis, 22 Maret 2012

Aku Hanya Ingin Bermimpi

Kadang yang ku butuhkan, hanya sekedar harapan dan dukungan. Dia yang hanya melihat dari kejauhan, apakah tahu bahwa doanyalah yang paling kuinginkan?
Aku hanya ingin bermimpi. Kalaupun tak mungkin terjadi, biarkan aku menyimpan semua dalam hati. Sebagai kenangan tersendiri, dan sebagai kekuatan yang selalu membangunkanku di pagi hari. 
Karena aku hanya ingin bermimpi.

Selasa, 20 Maret 2012

Kenangan Bulan



Aku menghirup teh ku. Rasa hangat meresap mengaliri tenggorokanku, sebelum akhirnya menjalar keseluruh tubuhku. Angin dingin memeluk tengkukku. Ia berbisik kemudian berlalu. Aku mendongak menatap kelangit malam. Hitam bertahta pualam. Berhiaskan rembulan yang berselimut awan.
 Bulan. Aku tersenyum menatapnya, merasa seolah tengah memandang refleksiku sendiri pada cahayanya. Aku menghela nafas, teringat pada sebuah kenangan. Teringat pada sosok yang pernah memanggilku bulan. Sosok yang terpatri dalam memori. Sosok yang menyusup dalam mimpi. Sosok yang pernah kupanggil sebagai Bumi.

Minggu, 18 Maret 2012

Aku melihat biru yang menangis
Aku melihat perak yang pucat
Hitam datang dan tersenyum manis
Angin berbisik dan aku tersesat

Sabtu, 17 Maret 2012

Dia yang Berjalan

Dia berjalan
Memunggungi mata yang menatapnya
Dia berjalan
Membelakangi sosok yang merindukannya
Dia terus berjalan
Dia tetap berjalan
Dan sepasang tangan yang ingin merengkuhnya
Hanya dapat menggapai udara

Senin, 27 Februari 2012

Senja (part 2)

Keesokan harinya, Mahesa menepati janjinya. Ia kembali mengunjungi Senja. Ia bahkan berangkat lebih pagi dari biasanya. Jam tujuh ia sudah tiba di rumah sakit dan langsung menuju kamar Senja untuk menyuapinya sarapan, mengajaknya berbicara meskipun selalu dibalas dengan diam, menemaninya menggambar dan mencoret-coret dinding dan bercerita banyak hal padanya.
Dan malam hari setelah selesai bertugas dan memeriksa keadaan pasien-pasien lain, Mahesa kembali ke kamar Senja untuk menyuapinya makan malam.
Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan, hingga akhirnya setengah tahun terlewati, Mahesa terus merawat Senja. Dokter, perawat, koki dan seluruh pekerja di rumah sakit tersebut telah hafal rutinitas baru Mahesa tersebut.
Dan tak peduli walau Senja tak pernah membalas semua ocehannya, Mahesa terus mengajaknya berbicara dan menceritakan segala hal yang dialaminya pada Senja yang tetap diam menggambar dan mencoret-coret dinding. Mahesa bahkan membelikan spidol warna-warni untuk Senja dan terkadang ia ikut menggambar di dinding bersama Senja. Mencoret-coret dan menghias dinding kamar Senja dengan berbagai lukisan abstrak. Dan dimalam hari, Mahesa takkan pulang meninggalkan Senja sebelum gadis tersebut terlelap.
***
“Senja, kucing tetanggaku baru saja melahirkan. Anaknya lucu-lucu sekali. Kau suka kucing? Menurutku kucing itu sangat lucu dan menenangkan,” kata Mahesa sambil tangannya menyuapi Senja. Mahesa telah selesai bekerja dan seperti biasanya, ia menemani Senja dan menyuapinya makan malam sambil bercerita berbagai hal.
Senja membuka mulutnya dan membiarkan Mahesa menyuapinya. Mahesa tersenyum. Mangkuk berisi makanan diletakkannya di pangkuannya kemudian tangan kirinya bergerak membelai rambut panjang Senja dengan lembut.
Tiba-tiba saja, Senja mengambil mangkuk di pangkuan Mahesa. Mahesa yang kaget tak sempat bertindak apapun. Kini makanan berpindah ke tangan Senja. Mahesa berpikir Senja akan melempar dan membuang makanan tersebut ke lantai atau apapun semacamnya yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang sakit jiwa lainnya. Namun ternyata Senja malah menyendokkan makanan tersebut dan mengarahkannya pada Mahesa. Ia ingin menyuapi Mahesa.
Mahesa tersenyum kemudian ia membuka mulutnya membiarkan sendok yang dipegang Senja memasuki mulutnya dengan membawa serta makan malam Senja. Mahesa mengunyah makanan tersebut sambil terus menatap Senja. Senja balas menatapnya. Dan sesaat kemudian ia tersenyum, Senja tersenyum. Senyuman pertama sejak Mahesa bertemu dengannya. Senyuman yang sangat indah, sangat cantik.
Mahesa menelan makanan di mulutnya dan detik berikutnya ia terdiam. Menikmati pemandangan di depannya. Menghayati senyuman di hadapannya. Senyuman Senja. Senja yang kini menjadi bagian hidupnya. Senja yang kini merupakan alasannya menjalani hari. Senja yang kini tak pernah bisa berhenti ia pikirkan. Ia ingin selamanya dapat melihat senyuman itu.
Dan di tengah keheningan, Mahesa membuang jarak di antara mereka. Mendekap Senja dengan segenap harapan. Berlanjut dengan dirinya mencium lembut Senja dalam kehangatan. Bersaksikan langit malam yang menatap tanpa suara. Seolah takut jika semua bukanlah nyata dan akan menghilang sesaat memejamkan mata.
“Aku mencintaimu Senja.”
***
“Dokter Mahesa,” panggil salah seorang perawat. Mahesa menoleh. Langkahnya terhenti. Perawat tersebut segera menghampiri Mahesa, sedikit tergesa.
“Ada seorang ibu yang menunggu anda di ruang tunggu.”
Mahesa mengernyitkan sebelah alisnya, “Siapa?”
“Dia sedang mencari anak perempuannya yang telah lama hilang. Dia sudah mencari kebanyak tempat bahkan keluar negeri. Mungkin anda harus bertemu dengannya, dia berkata mungkin anaknya ada di sini.”
“Baik, saya segera kesana.”
Mahesa berjalan menyusuri lorong menuju ruang tunggu. Sesampainya di sana, Mahesa melihat seorang wanita berusia sekitar 50 tahunan bersama seorang pemuda berusia sekitar awal 30 tahunan tengah duduk gelisah di sofa ruang tunggu.
Mahesa lalu berjalan mendekati mereka dan memperkenalkan diri sebagai dokter di rumah sakit tersebut. Kedua orang tersebut pun ikut berdiri dan memperkenalkan diri mereka. Ibu Ana, wanita tersebut dan pemuda yang merupakan anak sulungnya pun menceritakan pada Mahesa bahwa mereka tengah mencari anak perempuan Ibu Ana yang sudah dua tahun menghilang.
Felisia Silvitri, gadis berusia 22 tahun yang merupakan seorang penulis lepas di berbagai Koran dan majalah telah diculik oleh oknum perdagangan wanita. Oknum tersebut berhasil ditangkap, namun ia mengaku bahwa Felisia telah kabur.
Dua tahun Bu Ana mencari anaknya ke berbagai tempat. Bahkan ke luar negeri. Tak pernah ia berhenti mencarinya. Tak pernah ia putus asa meskipun tak ada petunjuk sama sekali tentang keberadaan anak perempuannya tersebut. Namun ia tetap meyakini bahwa anaknya masih hidup saat ini.
“Ada banyak gadis berusia 20an di sini, ibu bawa foto anak ibu? Mungkin kami bisa mencarikannya.”
“Ada, saya selalu membawa fotonya kemana pun,” Bu Ana menyerahkan sebuah foto seorang gadis pada Mahesa. Wajah Bu Ana terlihat lelah, tapi semangat untuk mencari anaknya sangat jelas terlihat.
Mahesa menerima foto tersebut dan terkejut saat melihat siapa gadis pada foto tersebut. Senja. Gadis tersebut adalah Senja. Tak salah lagi.
“Sepertinya ibu telah menemukan anak ibu,” Mahesa mengembalikan foto tersebut kepada Bu Ana sambil tersenyum. Bu Ana dan anak sulungnya terkejut luar biasa. Pencarian mereka selama ini tak sia-sia.
Mahesa kemudian mengajak Bu Ana dan pemuda tersebut menemui Felisia, nama asli Senja. Begitu melihat anaknya, Bu Ana segera memeluk dan menciumnya dengan haru. Air mata tak lagi dapat ia tahan tatkala ia melihat anak yang selama bertahun-tahun dicarinya. Anak sulungnya pun ikut menangis terharu dan ikut memeluk Felisia.
***
“Terimakasih banyak dokter, sungguh saya amat berterimakasih pada anda,” berkali-kali Bu Ana berterimakasih pada Mahesa. Kebahagiaan jelas terpancar dari matanya.
“Tak apa bu, ini sudah merupakan kewajiban saya. Semoga mental dan keterguncangan Felisia cepat pulih kembali.”
“Iya, amin. Terimakasih sekali lagi dokter. Maaf telah banyak merepotkan. Saya rencananya akan membawa Felisia berobat keluar negeri.”
“Luar negeri? Kenapa tidak tetap disini?” Mahesa terkejut mendengar ucapan Bu Ana.
“Saya akan menyusul suami saya yang bekerja di luar negeri dan saya dengar ada rumah sakit jiwa yang sangat bagus disana.”
“Ehm, saya mengerti. Semoga Felisia cepat sembuh di sana ya Bu.”
“Iya, terimakasih dokter. Saya duluan ya,” pamit Bu Ana sambil menggandeng Felisia menuju pintu keluar.
Mahesa melambaikan tangan sambil menatap kepergian Felisia. Kepergian Senja.
***
Lima tahun berselang setelah Bu Ana menemukan anak perempuannya, seorang penulis booming di tengah masyarakat. Setelah sukses dengan bukunya yang menjadi best seller di seluruh negeri, kini masyarakat mulai menguak cerita dirinya yang pernah diculik seorang oknum perdagangan wanita dan akhirnya mengalami keterguncangan mental selama kurang lebih tiga tahun.
Felisia Silvitri, sang penulis, kini berhasil bangkit dari keterpurukannya, bangun dari mimpi buruknya. Tiga tahun mengalami keterguncangan mental akhirnya berhasil ia lewati. Ibunya selalu menjaganya dan tak pernah lelah menemaninya hingga akhirnya ia pulih dari keterguncangan.
Setelah jiwanya pulih, Felisia pun akhirnya memberanikan diri membukukan karya tulisnya. Selama ini ia hanya mengirimkan hasil karyanya ke Koran atau majalah. Setelah itu, ia juga membuat buku tentang perdagangan wanita yang akhirnya berhasil menjadi best seller. Ia menuangkan seluruh pengalamannya selama diculik dan diperdagangkan hingga akhirnya membuatnya gila. Felisia ingat seluruh kejadian penculikan tersebut, namun ia sama sekali tak sadar saat jiwanya mulai terguncang.
Felisia sama sekali tak dapat mengingat dimana saja ia berada dulu, bersama siapa, atau apa yang dia lakukan. Tapi ada satu sosok yang muncul disetiap ia memejamkan mata. Sosok yang selalu hadir dalam mimpinya. Sosok yang tak dikenalnya, namun begitu dirindukannya. Sosok yang bahkan ia tak tahu nyata atau hanya khayalannya.
***
Lima tahun berlalu setelah salah satu pasien di sebuah rumah sakit jiwa di daerah Palembang berhasil ditemukan oleh keluarganya. Pasien tak dikenal yang akhirnya kini berhasil menjadi seorang penulis buku ternama.
Banyak orang kini menjadi penggemar karya tulis pasien tersebut. Banyak orang kini menjadi pembeli dan pembaca buku-buku yang dihasilkannya. Dan salah satu dari mereka adalah seorang dokter muda di rumah sakit tersebut. Rumah sakit jiwa tempat dulu keluarga pasien tersebut menemukannya.
Dan sekarang, dokter tersebut duduk di bawah salah satu naungan sebuah pohon di halaman rumah sakit tersebut. Angin bertiup membelai dedaunan. Mengajaknya bermain-main diudara sebelum akhirnya menghempaskannya ke tanah, remuk terinjak dan kemudian bersatu dalam dekapan debu.
Dokter tersebut menggenggam salah satu buku kumpulan puisi pasien tersebut. Membukanya pada halaman 165. Halaman yang tak pernah lagi berpindah. Halaman yang telah berkali-kali ia lihat. Halaman yang tak pernah bosan ia baca. Halaman 165.

SENJA
Karya Felisia Silvitri

Ia memanggil dengan sebutan senja
Menatap dalam peluk bayang jingga
Sosok mimpi yang begitu kurindukan
Yang berdiri diantara kenyataan dan khayalan

Ia berdiri. Memandang langit yang merah merona. Memandang matahari yang berucap sampai jumpa. Dan kepada senja yang berada di hadapannya, ia berbisik perlahan.
“Aku ada, aku nyata, dan aku akan selalu mencintaimu Senja. Selalu.”


Yak! Itu dia cerpen pertama gw. Moga menghibur ya :D
Oh iya, Sebenernya nama Felisia Silvitri itu nama samaran gw, hehe. Nama akun fb kloningan gw. Tapi tentu gw ubah2 dikit biar lebih manusiawi -.-v
Kalo nama samaran gw itu Felixia Silvitri. Cuma beda di s dan x sih.
Dan nama itu sebenernya gw ambil dari nama latin kucing, Felis silvestris catus, soalnya gw termasuk pecinta kucing.
Dan kenapa gw pilih tempatnya di Palembang? Karena gw penggemar berat mpek mpek, makanan khas palembang. Selain itu, nomer 165 itu sebenernya tanggal lahir gw, 16 mei :3