Jumat, 11 Januari 2013

Langit, Prambanan, Kamu



Prambanan selalu menjadi kesukaanku. Diantara candi-candi lain yang pernah ku kunjungi, Prambanan selalu memikatku untuk kembali. Seperti terhipnotis oleh reruntuhan itu, aku hanyut pada kisah yang ikut membeku seiring waktu. Tentang bagaimana seorang wanita memaksa bumi dan matahari bersatu, namun ia yang berakhir membatu.
  “Seolah kamu ikut menyatu.”


Aku tersentak oleh suaramu. Bertanya-tanya sejak kapan kamu telah berada di sisiku.
“Apa?”

“Kamu, dan candi itu. Kamu menatapnya seolah kamu mencintainya.”

Kamu menunjuk Prambanan dengan pandangan mata sambil sesekali mengabadikannya dengan kamera.
“Mungkin.” 

“Mungkin?”

Aku beralih menatap kamu yang menatapku. Mempelajari air mukamu, mengikuti garis wajahmu.
“Prambanan selalu menjadi kesukaanku. Dan mungkin memang aku mencintainya, karena entah bagaimana, aku selalu terpesona.”

“Aku telah berkali-kali kemari dan hafal setiap inchi.” Kini kamu yang beralih menatap Prambanan. ”Aku rasa aku sudah bosan.”
“Aku juga telah berkali-kali kemari. Dan juga hafal setiap inchi. Namun saat terlanjur mencintai, meski didatangi hingga ratusan kali tak akan terasa bosan, bukan?”

Kamu tersenyum mendengarku, dan lututku mendadak kelu melihat itu.

“Temani aku berjalan-jalan. Aku juga ingin jatuh cinta pada Prambanan.”

 Dan di bawah awan yang berarakan, di hadapan batu-batu yang ratusan tahun bergandengan, kita berjalan beriringan. Sesekali kamu bercerita, sesekali kamu tertawa. Dan entah sudah yang keberapa juta kali, aku jatuh cinta di setiap nafas yang kau hela. Langit sebagai saksi, bagaimana aku berdoa semoga detik terhenti dan kita membeku di sini.
Tiba-tiba ponselmu berbunyi.

“Kirana…”

Dan aku tak mau mendengar kelanjutannya.

“Ya, aku mencintaimu.”

Bisa kau hentikan itu? Jangan di hadapanku.

“Kirana titip salam untukmu.”

Aku tersenyum menahan rasa yang menusukku.
“Dia tahu aku?”

“Ya, aku cerita tentangmu.”
“Apa katamu?”
“Kamu sahabatku.”


Langit, Prambanan, kamu. Serta rasa yang masih menjadi rahasiaku.