Sabtu, 27 Oktober 2012

Jemari itu terus bertautan. Sejalan dengan tuannya yang berwajah muram tak tertahankan. Dia, sang pemuja yang pernah kupuja, terkulai pasrah pada gravitasi. Seolah terdapat jutaan tangan yang menariknya jatuh ke muka Bumi.


“Aku telah kehabisan kata untuk menyakinkanmu, wanitaku yang demi rindu aku sanggup membunuh waktu.”

Aku tersenyum, dengan getir yang telah bosan bersembunyi. Entah sudah berapa kali kita ulangi ini. Adegan yang telah kuhafal pasti.


“Dan mungkin untuk kali ini, akupun telah kehabisan rasa untuk mempercayaimu. Mungkin aku lelah untuk terus mendoakan bayangmu agar tak terbenam kelam.”

Jemari itu tak lagi bertautan. Kini mereka mengepal mengenggam emosi yang entah apa. Aku tak dapat menebak. Lelakiku tak dapat kuterka. Dari pertama ia kucinta sampai kini kita berbicara.


“Kau tau bahwa aku tak pernah ingin menyakitimu. Sampai para jam meninjuku hingga lebam, atau hingga kopi di cangkirku tak lagi dapat kusesap. Aku tak pernah ingin menyakitimu.”

Sungguh aku ingin percaya.  Aku tak lagi menghitung ini dusta yang keberapa. Aku ingin sekali mempercayainya. Tapi semakin keras aku memeluk mimpi tentang kasihku dan aku, realita pun semakin keras mendesakku agar membuka mata. Melihat dia di alam nyata.

“Apa karena itu kau membekapku dengan kebohongan? Agar aku tak tersakiti oleh pengkhianatan? Apa kamu juga mengatakan hal serupa pada hatimu disaat kamu menyapa dia yang kupikir telah berlalu?”

 
Ia terdiam. Hingga beberapa saat kita termangu dalam sepi yang membeku. Ia yang berputar dengan pikirannya. Aku yang menahan tumpahan aliran rasa.


”Aku bersumpah aku tak pernah berdusta dengan kata cinta.”

Ia menjawab lirih perlahan.


“Tapi mungkin aku memang bukanlah lelaki yang dapat menjaga hatimu seorang saja.”

Aku pecah. Bersamaan dengan kelanjutan cerita kita pada akhirnya. Sudah lama kuduga apa yang terjadi dibalik kisah kita, namun mendapat pengakuan dari bibirnya, aku pecah jatuh ke tanah.

“Semoga kita bahagia, tanpa harus lagi bersama.”

 
Aku tersenyum dengan pandangan berkaca. Mengucapkan kata-kata perpisahan untuk ia yang pernah kucinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar