Keesokan harinya, Mahesa menepati janjinya. Ia kembali mengunjungi Senja. Ia bahkan berangkat lebih pagi dari biasanya. Jam tujuh ia sudah tiba di rumah sakit dan langsung menuju kamar Senja untuk menyuapinya sarapan, mengajaknya berbicara meskipun selalu dibalas dengan diam, menemaninya menggambar dan mencoret-coret dinding dan bercerita banyak hal padanya.
Dan malam hari setelah selesai bertugas dan memeriksa keadaan pasien-pasien lain, Mahesa kembali ke kamar Senja untuk menyuapinya makan malam.
Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan, hingga akhirnya setengah tahun terlewati, Mahesa terus merawat Senja. Dokter, perawat, koki dan seluruh pekerja di rumah sakit tersebut telah hafal rutinitas baru Mahesa tersebut.
Dan tak peduli walau Senja tak pernah membalas semua ocehannya, Mahesa terus mengajaknya berbicara dan menceritakan segala hal yang dialaminya pada Senja yang tetap diam menggambar dan mencoret-coret dinding. Mahesa bahkan membelikan spidol warna-warni untuk Senja dan terkadang ia ikut menggambar di dinding bersama Senja. Mencoret-coret dan menghias dinding kamar Senja dengan berbagai lukisan abstrak. Dan dimalam hari, Mahesa takkan pulang meninggalkan Senja sebelum gadis tersebut terlelap.
***
“Senja, kucing tetanggaku baru saja melahirkan. Anaknya lucu-lucu sekali. Kau suka kucing? Menurutku kucing itu sangat lucu dan menenangkan,” kata Mahesa sambil tangannya menyuapi Senja. Mahesa telah selesai bekerja dan seperti biasanya, ia menemani Senja dan menyuapinya makan malam sambil bercerita berbagai hal.
Senja membuka mulutnya dan membiarkan Mahesa menyuapinya. Mahesa tersenyum. Mangkuk berisi makanan diletakkannya di pangkuannya kemudian tangan kirinya bergerak membelai rambut panjang Senja dengan lembut.
Tiba-tiba saja, Senja mengambil mangkuk di pangkuan Mahesa. Mahesa yang kaget tak sempat bertindak apapun. Kini makanan berpindah ke tangan Senja. Mahesa berpikir Senja akan melempar dan membuang makanan tersebut ke lantai atau apapun semacamnya yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang sakit jiwa lainnya. Namun ternyata Senja malah menyendokkan makanan tersebut dan mengarahkannya pada Mahesa. Ia ingin menyuapi Mahesa.
Mahesa tersenyum kemudian ia membuka mulutnya membiarkan sendok yang dipegang Senja memasuki mulutnya dengan membawa serta makan malam Senja. Mahesa mengunyah makanan tersebut sambil terus menatap Senja. Senja balas menatapnya. Dan sesaat kemudian ia tersenyum, Senja tersenyum. Senyuman pertama sejak Mahesa bertemu dengannya. Senyuman yang sangat indah, sangat cantik.
Mahesa menelan makanan di mulutnya dan detik berikutnya ia terdiam. Menikmati pemandangan di depannya. Menghayati senyuman di hadapannya. Senyuman Senja. Senja yang kini menjadi bagian hidupnya. Senja yang kini merupakan alasannya menjalani hari. Senja yang kini tak pernah bisa berhenti ia pikirkan. Ia ingin selamanya dapat melihat senyuman itu.
Dan di tengah keheningan, Mahesa membuang jarak di antara mereka. Mendekap Senja dengan segenap harapan. Berlanjut dengan dirinya mencium lembut Senja dalam kehangatan. Bersaksikan langit malam yang menatap tanpa suara. Seolah takut jika semua bukanlah nyata dan akan menghilang sesaat memejamkan mata.
“Aku mencintaimu Senja.”
***
“Dokter Mahesa,” panggil salah seorang perawat. Mahesa menoleh. Langkahnya terhenti. Perawat tersebut segera menghampiri Mahesa, sedikit tergesa.
“Ada seorang ibu yang menunggu anda di ruang tunggu.”
Mahesa mengernyitkan sebelah alisnya, “Siapa?”
“Dia sedang mencari anak perempuannya yang telah lama hilang. Dia sudah mencari kebanyak tempat bahkan keluar negeri. Mungkin anda harus bertemu dengannya, dia berkata mungkin anaknya ada di sini.”
“Baik, saya segera kesana.”
Mahesa berjalan menyusuri lorong menuju ruang tunggu. Sesampainya di sana, Mahesa melihat seorang wanita berusia sekitar 50 tahunan bersama seorang pemuda berusia sekitar awal 30 tahunan tengah duduk gelisah di sofa ruang tunggu.
Mahesa lalu berjalan mendekati mereka dan memperkenalkan diri sebagai dokter di rumah sakit tersebut. Kedua orang tersebut pun ikut berdiri dan memperkenalkan diri mereka. Ibu Ana, wanita tersebut dan pemuda yang merupakan anak sulungnya pun menceritakan pada Mahesa bahwa mereka tengah mencari anak perempuan Ibu Ana yang sudah dua tahun menghilang.
Felisia Silvitri, gadis berusia 22 tahun yang merupakan seorang penulis lepas di berbagai Koran dan majalah telah diculik oleh oknum perdagangan wanita. Oknum tersebut berhasil ditangkap, namun ia mengaku bahwa Felisia telah kabur.
Dua tahun Bu Ana mencari anaknya ke berbagai tempat. Bahkan ke luar negeri. Tak pernah ia berhenti mencarinya. Tak pernah ia putus asa meskipun tak ada petunjuk sama sekali tentang keberadaan anak perempuannya tersebut. Namun ia tetap meyakini bahwa anaknya masih hidup saat ini.
“Ada banyak gadis berusia 20an di sini, ibu bawa foto anak ibu? Mungkin kami bisa mencarikannya.”
“Ada, saya selalu membawa fotonya kemana pun,” Bu Ana menyerahkan sebuah foto seorang gadis pada Mahesa. Wajah Bu Ana terlihat lelah, tapi semangat untuk mencari anaknya sangat jelas terlihat.
Mahesa menerima foto tersebut dan terkejut saat melihat siapa gadis pada foto tersebut. Senja. Gadis tersebut adalah Senja. Tak salah lagi.
“Sepertinya ibu telah menemukan anak ibu,” Mahesa mengembalikan foto tersebut kepada Bu Ana sambil tersenyum. Bu Ana dan anak sulungnya terkejut luar biasa. Pencarian mereka selama ini tak sia-sia.
Mahesa kemudian mengajak Bu Ana dan pemuda tersebut menemui Felisia, nama asli Senja. Begitu melihat anaknya, Bu Ana segera memeluk dan menciumnya dengan haru. Air mata tak lagi dapat ia tahan tatkala ia melihat anak yang selama bertahun-tahun dicarinya. Anak sulungnya pun ikut menangis terharu dan ikut memeluk Felisia.
***
“Terimakasih banyak dokter, sungguh saya amat berterimakasih pada anda,” berkali-kali Bu Ana berterimakasih pada Mahesa. Kebahagiaan jelas terpancar dari matanya.
“Tak apa bu, ini sudah merupakan kewajiban saya. Semoga mental dan keterguncangan Felisia cepat pulih kembali.”
“Iya, amin. Terimakasih sekali lagi dokter. Maaf telah banyak merepotkan. Saya rencananya akan membawa Felisia berobat keluar negeri.”
“Luar negeri? Kenapa tidak tetap disini?” Mahesa terkejut mendengar ucapan Bu Ana.
“Saya akan menyusul suami saya yang bekerja di luar negeri dan saya dengar ada rumah sakit jiwa yang sangat bagus disana.”
“Ehm, saya mengerti. Semoga Felisia cepat sembuh di sana ya Bu.”
“Iya, terimakasih dokter. Saya duluan ya,” pamit Bu Ana sambil menggandeng Felisia menuju pintu keluar.
Mahesa melambaikan tangan sambil menatap kepergian Felisia. Kepergian Senja.
***
Lima tahun berselang setelah Bu Ana menemukan anak perempuannya, seorang penulis booming di tengah masyarakat. Setelah sukses dengan bukunya yang menjadi best seller di seluruh negeri, kini masyarakat mulai menguak cerita dirinya yang pernah diculik seorang oknum perdagangan wanita dan akhirnya mengalami keterguncangan mental selama kurang lebih tiga tahun.
Felisia Silvitri, sang penulis, kini berhasil bangkit dari keterpurukannya, bangun dari mimpi buruknya. Tiga tahun mengalami keterguncangan mental akhirnya berhasil ia lewati. Ibunya selalu menjaganya dan tak pernah lelah menemaninya hingga akhirnya ia pulih dari keterguncangan.
Setelah jiwanya pulih, Felisia pun akhirnya memberanikan diri membukukan karya tulisnya. Selama ini ia hanya mengirimkan hasil karyanya ke Koran atau majalah. Setelah itu, ia juga membuat buku tentang perdagangan wanita yang akhirnya berhasil menjadi best seller. Ia menuangkan seluruh pengalamannya selama diculik dan diperdagangkan hingga akhirnya membuatnya gila. Felisia ingat seluruh kejadian penculikan tersebut, namun ia sama sekali tak sadar saat jiwanya mulai terguncang.
Felisia sama sekali tak dapat mengingat dimana saja ia berada dulu, bersama siapa, atau apa yang dia lakukan. Tapi ada satu sosok yang muncul disetiap ia memejamkan mata. Sosok yang selalu hadir dalam mimpinya. Sosok yang tak dikenalnya, namun begitu dirindukannya. Sosok yang bahkan ia tak tahu nyata atau hanya khayalannya.
***
Lima tahun berlalu setelah salah satu pasien di sebuah rumah sakit jiwa di daerah Palembang berhasil ditemukan oleh keluarganya. Pasien tak dikenal yang akhirnya kini berhasil menjadi seorang penulis buku ternama.
Banyak orang kini menjadi penggemar karya tulis pasien tersebut. Banyak orang kini menjadi pembeli dan pembaca buku-buku yang dihasilkannya. Dan salah satu dari mereka adalah seorang dokter muda di rumah sakit tersebut. Rumah sakit jiwa tempat dulu keluarga pasien tersebut menemukannya.
Dan sekarang, dokter tersebut duduk di bawah salah satu naungan sebuah pohon di halaman rumah sakit tersebut. Angin bertiup membelai dedaunan. Mengajaknya bermain-main diudara sebelum akhirnya menghempaskannya ke tanah, remuk terinjak dan kemudian bersatu dalam dekapan debu.
Dokter tersebut menggenggam salah satu buku kumpulan puisi pasien tersebut. Membukanya pada halaman 165. Halaman yang tak pernah lagi berpindah. Halaman yang telah berkali-kali ia lihat. Halaman yang tak pernah bosan ia baca. Halaman 165.
SENJA
Karya Felisia Silvitri
Ia memanggil dengan sebutan senja
Menatap dalam peluk bayang jingga
Sosok mimpi yang begitu kurindukan
Yang berdiri diantara kenyataan dan khayalan
Ia berdiri. Memandang langit yang merah merona. Memandang matahari yang berucap sampai jumpa. Dan kepada senja yang berada di hadapannya, ia berbisik perlahan.
“Aku ada, aku nyata, dan aku akan selalu mencintaimu Senja. Selalu.”
Yak! Itu dia cerpen pertama gw. Moga menghibur ya :D
Oh iya, Sebenernya nama Felisia Silvitri itu nama samaran gw, hehe. Nama akun fb kloningan gw. Tapi tentu gw ubah2 dikit biar lebih manusiawi -.-v
Kalo nama samaran gw itu Felixia Silvitri. Cuma beda di s dan x sih.
Dan nama itu sebenernya gw ambil dari nama latin kucing, Felis silvestris catus, soalnya gw termasuk pecinta kucing.
Dan kenapa gw pilih tempatnya di Palembang? Karena gw penggemar berat mpek mpek, makanan khas palembang. Selain itu, nomer 165 itu sebenernya tanggal lahir gw, 16 mei :3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar