Beberapa pasang mata melekat membuatku jengah. Aku memang paling tak suka menjadi pusat di tengah kerumunan. Seperti dicekik dari kiri dan kanan.
“Apa?” bentakku pada si penganggu setelah ku putuskan untuk menjawab panggilannya. Terdengar gelak dari sebrang sana. Glek! Aku benci mengakuinya, tapi suara itu selalu mampu membuat jantungku berolahraga.
“Ingin merajuk hingga kapan nona?” tanya suara dari sana.
“Hingga kapan, itu urusanku dengan waktu. Bukan denganmu”
“Ah, tapi kurasa namaku ada dalam daftar serta diskusimu. Juga para rindu yang menyebut-nyebut namamu”
“Tau apa kamu tentang rindu? tentang aku saja kamu masih terbata-bata”
“Oh ya? kamu tak tau saja bahwa aku telah berkawan akrab dengannya, tiap malam kami berbincang bersama”
“Ah, aku dapat menerka pembicaraan kalian berdua. Pasti tentang keluarga dan kawan lama. Atau juga tentang game-game yang membuatmu jadi pelupa”
“Mungkin juga, hahaha”
Ugh, dasar tak peka! Ku pikir ia akan mengelak dan mengatakan bahwa aku lah yang menjadi tema. Ternyata ia malah mengiyakan saja.
“Oke, selamat berbincang dengannya”, kataku sambil bersiap mematikan ponselku.
“Tetapi”
Ia menyambung tiba-tiba, mengurungkan niatku semula,
“kami lebih suka membicarakan si nona perajuk yang gemar berjalan-jalan di otakku”.
“Perayu”, aku tersipu.
“Terserah apa panggilanmu, yang pasti aku candu pada candamu”.
“Ya, sayangnya game di komputermu itu lebih memikat dibanding aku”.
Hening sejenak. Aku tahu ia tengah memikirkan jawaban untukku.
“Nona, kalau kau ingin kita berbicara tentang apa yang memikatku, ia tak hanya itu. Lebih dari satu. Mungkin beribu-ribu.”
Kini aku yang tak bersuara. Menunggu kelanjutan kata-katanya.
“Tapi kamu, cintaku, hanya satu yang satu-satunya mengikatku dengan simpul sendu tiap kali jarak merengkuhmu”.
Aku membeku. Entah bagaimana ia selalu sanggup membuatku bisu. Aku rasa ia tak berbohong saat berkata bahwa ia berbincang tiap malam dengan rindu, sepertinya mereka bekerjasama menyergapku, karna sungguh saat ini aku sangat ingin mendekap sang penganggu satu itu.
“Kalau memang begitu, kenapa kau tak selamatkan aku dari jarak yang juga mencekikku? Aku bisa mati sewaktu-waktu”.
Seolah dapat melihatnya, aku tahu ia sedang tersenyum saat menjawabku,
“tetaplah di situ, aku tengah menujumu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar