Oh ya, right!
Langsung ja, dan ini lah cerpen pertama gw, silahkan membaca :)
SENJA
Mahesa, seorang dokter muda di sebuah rumah sakit jiwa ternama di daerah Palembang, berjalan perlahan menyusuri lorong. Dibelakangnya, asistennya mengekor sembari membacakan jadwal merawatnya yang tertera pada selembar kertas diatas papan jalan yang terus didekap sang asisten.
“Pasien baru, seorang gadis, berumur sekitar awal 20an. Dia tak memiliki relative dan tak ada yang mengenalnya. Ia ditemukan warga berjalan tanpa arah di sekitar jembatan Ampera. Sama sekali tak dapat diajak berbicara dan tak memiliki ekspresi. Diduga dia adalah korban trauma pemerkosaan.”
“Dimana dia sekarang?”
“Kamar 165.”
Setelah mengangguk tanda mengerti pada penjelasan asistennya, Mahesa berjalan menuju kamar 165, tempat seorang pasien baru yang akan diperiksanya. Sesampainya di ruang yang dituju, perlahan Mahesa membuka pintu ruangan.
Terlihat isi ruangan yang sederhana, nyaris kosong. Selain dinding putih polos dan lantai keramik yang juga putih, hanya ada sebuah ranjang single size di samping jendela kecil berjeruji yang menghantarkan sinar senja kedalam ruangan. Di atas ranjang tersebut, duduk seorang gadis yang menekuk kakinya dan memeluknya erat di dada. Wajahnya tak lepas memandang jendela yang mengarah ke halaman samping rumah sakit. Siluet bayangannya berpeluk jingga dari matahari sore yang bagai menatapnya, seolah enggan mengucap selamat tinggal dan membiarkan bulan menggantikan posisinya.
Mahesa beranjak memasuki ruangan dan menghampiri gadis tersebut. Perlahan dia duduk di sisi ranjang, di samping gadis tersebut.
Ia bergeming, sedikitpun tak terusik kehadiran Mahesa, gadis itu terus memandang keluar jendela. Memandang langit, memandang awan, memandang rona merah senja. Senja. Itulah yang terukir jelas di pikiran Mahesa saat ia menatap gadis itu. Cantik, gadis itu sangat cantik. Seperti senja. Dan juga seperti senja yang merupakan waktu kematian matahari, gadis itu memiliki mata yang redup, tak berbinar, tak hidup. Seperti senja.
***
Pekat menyelimuti bumi. Bersama bulan yang berjubah cahaya emas, bintang-bintang menggenggam langit malam. Mahesa melepas jas dokternya. Tugasnya telah selesai dan sekarang waktunya ia pulang ke rumah. Dengan lelah ia menyusuri lorong rumah sakit. Terbayang rutinitasnya setiap hari selesai bekerja di rumah sakit tersebut. Mandi, memasak makan malamnya sendiri, makan sambil menonton televisi kemudian bersiap tidur dan bangun keesokan paginya untuk kembali berangkat kerja di rumah sakit. Selalu begitu.
Sebenarnya Mahesa adalah anak seorang pengusaha kaya. Ditambah dengan kecerdasan dan wajah tampan perpaduan sempurna Indonesia dan Belanda, Mahesa bisa menjadi apapun yang dia inginkan. Tak harus menjadi seorang dokter di rumah sakit jiwa. Namun, karena kematian adik perempuannya sepuluh tahun yang lalu, Mahesa bertekat menjadi seorang dokter kejiwaan.
Hafa, adik Mahesa, adik satu-satunya, adik kesayangannya, meninggal bunuh diri sepuluh tahun yang lalu ketika ia mengalami gangguan kejiwaan. Tak ada yang tahu pasti apa yang telah menyebabkan Hafa mengalami gangguan kejiwaan, tak ada petunjuk mengapa mentalnya terguncang. Dan itu jelas membuat Mahesa terpukul. Ia bertekat untuk menyelamatkan orang-orang seperti Hafa, mengobati jiwa orang-orang seperti Hafa. Orang-orang yang terkapar, namun tak berdarah. Tetapi jauh didalam, sesungguhnya mereka tengah sekarat.
Sret sret
Sebuah suara membuyarkan lamunan Mahesa. Suara goresan suatu benda. Mahesa menengok kearah pintu di samping lorong tempat dia berdiri saat itu. Suara itu berasal dari sana. kamar 165. Kamar Senja. Ya, lepas dari pertemuan dengan pasien barunya tersebut, Mahesa memanggilnya Senja. Apa yang dilakukannya malam-malam begini?
Perlahan Mahesa membuka pintu tersebut dengan kunci universal yang dimilikinya. Sebagai seorang dokter utama, ia memiliki sebuah kunci universal yang dapat membuka seluruh pintu-pintu kamar pasien. Setelah pintu terbuka, perlahan Mahesa melangkah memasuki ruang di baliknya. Suasana remang, Satu-satunya penerangan berasal dari cahaya bulan yang menerobos masuk melalui jendela berjeruji.
Di atas tempat tidur, Senja duduk sembari menggoreskan sesuatu di tembok. Mahesa mendekat kemudian ikut duduk tepat di samping Senja. Dapat dilihatnya Senja mengenggam sebuah pulpen hitam di tangannya. Mahesa teringat tadi siang asistennya kehilangan pulpennya, sepertinya itu pulpen milik asistennya. Mungkin terjatuh saat tadi ia memasuki kamar Senja untuk pemeriksaan.
Senja terus menggoreskan pulpen tersebut di dinding. Menggambar dan mencoret-coret tanpa sedikitpun tergubris pandangan Mahesa yang kini memperhatikannya.
“Senja?” panggil Mahesa pelan. “Boleh aku memanggilmu Senja?”
Tak ada jawaban. Senja masih sibuk mencoret-coret dinding dengan pulpen temuannya. Pandangannya lurus menatap hasil karyanya. Di sisinya Mahesa tak henti memandang Senja. Ia ingin tahu apa yang telah merusak mentalnya, melukai jiwanya serta membunuh senyumnya. Ia ingin tahu apa yang sedang diarungi pikirannya. Dan yang terpenting, ia ingin melindunginnya. Entah mengapa padahal mereka baru bertemu hari itu. Namun ada perasaan kuat di dalam dirinya bahwa ia ingin menolong gadis tersebut. Meski ia tak mengenal gadis itu sama sekali. Bahkan namanya ia tak tahu.
Trek. Tak sengaja Senja menyenggol nampan di sisi ranjang. Sesaat pandangan Mahesa teralih dari Senja. Dilihatnya nampan berisi makanan yang masih utuh sama sekali. Diraihnya nampan tersebut.
“Kau tak makan sama sekali?” Tanya Mahesa. “Kenapa? Nanti kau sakit loh. Ayo makan,” Mahesa menyendokkan makanan tersebut ke Senja namun ia menghindar dan malah menciptakan jarak dengannya.
“Kau tak lapar?” Mahesa menjauhkan sendok dari Senja. Senja tetap diam sambil terus mencoret-coret dinding.
“Kau tak lapar? Aku saja sangat kelaparan sekarang. Ngomong-ngomong, aku sebenarnya belum pernah loh mencicipi makanan rumah sakit ini. Agak mengherankan juga padahal aku adalah dokter utama disini. Aku selalu ingin cepat-cepat pulang setelah tugasku selesai,” oceh Mahesa, tak peduli walau yang dilakukannya hanya pembicaraan satu arah karena Senja terus sibuk mencoret-coret dinding dan tak mengindahkannya sama sekali.
“Boleh ku cicipi sedikit? Jujur saja aku sangat kelaparan saat ini,” tanyanya meminta izin walau ia tahu Senja takkan berbicara sedikitpun juga. Setelah meminta izin, Mahesa langsung menyuapkan makanan tersebut ke mulutnya. Perlahan ia mengunyah makanan tersebut dan sesaat terkejut dengan rasanya.
“Wuah, ini enak sekali,” serunya kaget. “Aku tak tahu kalau ternyata koki rumah sakit ini sangat pintar. Tahu begini, aku minta saja satu porsi untuk ku bawa pulang dari pada aku harus repot-repot memasak.”
“Senja, kau sungguh tak mau makan? Ini benar-benar enak, kau harus mencobanya juga,” Mahesa kembali mencoba menyendokkan makanan tersebut kepada Senja. Kali ini Senja terdiam, bahkan tangannya yang sedari tadi sibuk juga berhenti. Mahesa menunggu Senja dengan sendok terangkat mengarah pada Senja. Perlahan Senja membuka mulutnya. Mahesa tersenyum dan dengan lembut ia menyuapi Senja.
“Bagaimana? Enak bukan? Kau mau lagi?” Kembali Mahesa menyodorkan suapan pada Senja. Dan kembali Senja membuka mulutnya membiarkan Mahesa menyuapinya. Terus hingga akhirnya makanan tersebut tandas.
“Apa ku bilang? Makanan ini enak sekali kan?” ujar Mahesa. “Sudah jam 9, aku harus kembali,” Mahesa menatap arloji di pergelangannya kemudian beranjak berdiri dari ranjang tersebut.
“Aku akan mengunjungimu lagi besok, aku janji. Selamat malam Senja,” ucap Mahesa sambil berjalan menuju pintu dan menutupnya.
Sepeninggal Mahesa, Senja kembali mencoret dinding disampingnya. Tidak, bukan mencoret, menulis. Ia menuliskan sebuah kata pada dinding tersebut. Senja.
yg part 2 nya mana nih ._.
BalasHapusada kok...
BalasHapus